Ahad, 3 Rabiul Akhir 1446/6 Oktober 2024
MENEBAR RAHMAT BUKAN MENEBAR KEBENCIAN
Oleh: Ustadz H. Taryudi, Lc., M.Ag.
1. Indahnya etika Nabi saw yang menegaskan bahwa dirinya adalah manusia yang menebar rahmat (kasih sayang), bukan menebar kebencian dan mudah melaknat orang lain. Hadis berikut ini melukiskan keindahan pribadi Baginda Nabi,
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., seseorang meminta kepada Rasulullah. Wahai Rasulullah doakanlah kaum Musyrik (orang-orang Mekkah) itu (agar mereka itu dilaknat)? Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya aku tidak diutus menjadi pelaknat (tukang laknat), tetapi aku diutus untuk menjadi Rahmat.” (HR Muslim).
2. Prinsip menebar rahmat (kasih sayang) tidak berarti menghilangkan prinsip lain, seperti tegas
dalam memihak kebenaran dan menolak kezaliman. Seperti ketegasan Nabi saw ketika menyikapi tragedi Bir (sumur) Ma’unah pada bulan Safar tahun 4 Hijriah. Nabi mendoakan kehancuran bagi suku-suku di wilayah Najd yang membantai 70 sahabat beliau. Suku-suku tersebut mengkhianati Baginda Nabi saw. Hadis berikut ini menjelaskan tegasnya sikap Nabi yang ber-Qunut Nazilah 30 hari berturut-turut supaya mereka ditimpa azab. Setelah itu Nabi berhenti mendoakan mereka.
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Rasulullah membaca qunut selama satu bulan secara berturut-turut, di salat Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan Subuh, di akhir setiap salat. Ketika beliau mengucapkan, sami’allahu liman hamidahu, di rakaat akhir, beliau mendoakan suku-suku Arab, antara lain Bani Sulaim, Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah. Diaminkan oleh sahabat yang salat di belakangnya. Nabi tidak lagi mendoakan suku-suku itu setelah turun firman Allah: Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad), QS Ali Imran: 128. (HR Abu Dawud).
3. Untuk menjadi manusia yang menebar rahmat, tentu banyak upaya yang bisa dilakukan. Misalnya dengan meneladani akhlak Baginda Nabi. Atau, sering membaca doa Ma’tsur ini: