[60] Menyikapi Dinamika Fikih Kurban

Ahad, 12 Zulkaidah 1445/ 19 Mei 2024

 

MENYIKAPI DINAMIKA FIKIH KURBAN

Oleh: H. Taryudi, Lc., M.Ag.

 

  1. Ikhtilaf (perbedaan pendapat ulama) adalah ciri yang melekat dalam studi fikih.
  2. Dalam fikih kurban, para ulama pun beda pendapat. Misalnya saja menyangkut apa hukum melaksanakan ibadah kurban. Para ulama beda pendapat soal itu. Perbedaan tersebut telah banyak dijelaskan para ulama, antara lain, oleh Ibn Rusyd dalam karyanya yang terkenal yaitu: Bidāyah al-Mujtahid. Beliau menjelaskan sebagai berikut:

اِخْتَلَفَ العُلَمَاءُ فِي الْأُضْحِيَّةِ : هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ أَمْ هِيَ سُنَّةٌ ؟ فَذَهَبَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهَا مِنَ السُّنَنِ الْمُؤَكَّدَةِ ، وَرَخِصَ مَالِكٌ لِلْحَاجِ فِي تَرْكِهَا بِمِنَى ، وَلَمْ يُفَرِّقِ الشَّافِعِيُّ فيِ ذَلِكَ بَيْنَ الْحَاجِ وَغَيْرِهِ . وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ : الضَّحِيَّةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْمُقِيْمِيْنَ فِي الْأَمْصَارِ الْمُوْسِرِيْنَ ، وَلَا تَجِبُ عَلَى الْمُسَافِرِيْنَ ، وَخَالَفَهُ صَاحِبَاهُ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ فَقَالَا : إِنَّهَا لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ.”

“Ulama beda pandangan tentang [hukum] kurban. Apakah hukumnya wajib atau sunah? Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum kurban adalah sunah mu’akkadah [sunah yang dianjurkan]. Bagi orang yang berhaji, oleh Imam Malik diberi keringanan boleh tidak berkurban ketika berada di Mina. Sedangkan Imam Syafi’i tidak membedakan hukumnya antara yang berhaji dan tidak. Ada pun Imam Abu Hanifah memandang bahwa kurban hukumnya wajib atas al-muqimin (orang yang tinggal menetap) dan al-musirin (mudah atau mampu). Abu Hanifah tidak mewajibkan ibadah kurban pada musafir. Sedangkan dua murid Imam Abu Hanifah yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad beda pendapat dengan sang guru. Menurut keduanya, ibadah kurban bukanlah kewajiban.”

 

  1. Argumentasi (alasan) ulama yang berpendapat bahwa kurban h

    ukumnya wajib, adalah karena Rasulullah saw selalu berkurban, bahkan meski pun ketika beliau sedang melaksanakan safar (perjalanan).

فِي حَدِيْثِ ثَوْبَانَ قَالَ : ” ذَبَحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أُضْحِيَّتَهُ ثُمَّ قَالَ : يَا ثَوبَانَ أَصْلِحْ لَحْمَ هَذِهِ الضَّحِيَّةَ ، قَالَ : فَلَمْ أَزَلْ أُطْعِمُهُ مِنْهَا حَتَّى قَدِمَ الْمَدِينَةَ ” .

“Hadis dari Ṡauban ia berkata: Rasulullah saw menyembelih kurban beliau, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Ṡauban, engkau uruslah daging kurban ini.’ Ṡauban berkata: saya masih terus menyajikan daging kurban itu kepada beliau hingga tiba di Madinah.” (HR Muslim)

 

  1. Argumentasi ulama yang berpendapat bahwa kurban hukumnya sunah adalah karena melalui sabda Nabi saw difahami adanya suatu pilihan. Dengan ada pilihan, berarti tidak ada kewajiban. Nabi saw bersabda:

حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهُ قَالَ : ” إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ شَيئًا ، وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ ”

“Hadis dari Ummu Salamah, ia berkata, ‘Jika telah masuk sepuluh hari awal (bulan Zulhijjah) dan salah seorang dari kalian ada yang ingin berkurban, janganlah ia mengambil [memotong] rambut dan kukunya.’ (HR Muslim). []

Download Materi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2024 Majelis Ahad Sore Rindu Hidayah